Pesan Cinta Angin
Udara musim gugur masih menyelimuti kota London saat itu. Masih
terbilang hangat. Tepatnya di kota Bradford, bagian utara Negara
Inggris. Gadis berusia 17 tahun itu berjalan di setapak menuju bukit tak
jauh dari rumahnya. Bukit itu terletak di dalam hutan lebih tepatnya.
Daun-daun berguguran dan jatuh tepat di atas kepala Gadis yang memegang
keranjang kue tersebut. Gadis itu bernama Flo. Sekarang, ia mengitari
sungai dengan langkah berhati-hati. Takut bajunya basah terkena percikan
air dari sepatunya. Dia melangkah sesembari bersenandung kecil. Flo
kemudian mendongak ke arah belakang. Dilihatnya asap-asap mengepul dari
kejauhan. Mungkin saja ada yang sedang berkemah di dekat-dekat hutan
ini. Tak apalah. Itu tak menyurutkan niatnya untuk cepat-cepat sampai ke
bukit yang dikenal dengan bukit Seedmoun.
Flo membentangkan alas pakis untuk dijadikan tempat duduk dan menaruh
sekeranjang penuh kue kering bikinannya sendiri di atasnya. Dia
mendengar daun-daun yang gemerisik, binatang kecil yang berlalu-lalang
di dekatnya, dan suara napasnya sendiri. Sangat damai. Sendiri di tempat
sejuk seperti sekarang ini adalah kesukaannya. Lalu terdengar suara
kaki melangkah mendekat. Flo berbalik. Ternyata Kai. Kai adalah
satu-satunya teman lelaki yang ia punya sejak kecil. Dia sedang memakai
tas ransel dan sepatu boots. Kai meringis kecil melihat Flo yang
terheran-heran menatapnya.
“Hei! Ada apa? Kenapa menatap dengan wajah anehmu itu?” seru Kai
sambil terkikik geli. Dia kemudian duduk di samping Flo dan meletakkan
ransel yang dikenakannya. Kai menyodorkan sekotak kue ke Flo setelah
dilihatnya gadis itu tersenyum.
“Kamu mau, Flo?” Tanya Kai sesembari memperbaiki posisi duduknya.
“Apa itu?” Tanya Flo berbalik.
“Hanya kue kering. Tadi Kakek Gupps membuatkan lebih untuk kita. Mau
tidak? Kalau tidak, aku akan makan sendiri.” Kai tersenyum jahil.
“Berikan aku sepotong saja.” jawab gadis itu tanpa mempedulikan wajah Kai yang aneh.
“Kai, mau tidak kamu menemaniku ke toko Seffin tidak jauh dari sini? Aku
ingin membeli puding” tanyanya lagi lalu bangkit dan membereskan
kue-kue dan alas pakis yang telah lama tertindih. “Boleh saja. Ayo!” Kai
mengangguk kemudian bangkit dan berjalan mendahului Flo.
Esoknya, Flo menelepon Kai. Tidak terjawab. Dicoba lagi olehnya.
Hasilnya nihil. Flo tergopoh mengambil flat shoes-nya lalu berlari ke
luar menuju ke rumah Kai. Gadis itu menabrak Ibunya yang sedang membawa
tanaman. Ia secepat kilat mengambil sepedanya yang terparkir di halaman
depan. Ibunya beberapa kali mengumpatnya menyuruhnya berhati-berhati.
Flo hanya mengangguk kemudian mengayuh sepedanya dengan cepat.
“Kai, Kai. Kamu ada di dalam?” Flo mengetuk pintu rumah Kai beberapa kali.
Tak ada yang membukakan pintu untuknya. Badannya lemas. Kai ke mana?
Tumben dia pergi tanpa bilang dulu? Flo pusing memikirkannya. Dia lalu
beringsut mendekati jendela. Tak nampak siapa-siapa. Mungkin Kai ke
kota, pikirnya. Flo mengayuh sepedanya menuju bukit Seedmoun. Dia
memarkir sepedanya di seberang sungai lalu berjalan mendekati hutan
pinus tak jauh dari situ. Dia melihat seorang lelaki sebayanya sedang
melukis di bawah pohon itu. Apa dia Kai? Sedang apa anak itu? Melukis
sendirian di bawah pohon. Flo lalu mendekatinya. Kai merasakan kehadiran
Flo lalu berbalik dan tersenyum. Flo mengusap keringat di dahinya. Dia
benar-benar Kai. Flo memperhatikan setiap goresan lukisan Kai. Sangat
cantik. Kai sedang melukis sungai yang ada di hadapannya. Dia sangat
pandai melukis.
“Kai, aku juga mau pandai melukis. Mau tidak kamu mengajariku?” Tanya Flo malu-malu.
“Boleh. Tapi tunggu lukisan ini selesai dulu, ya.” Aku mengangguk seraya
memberikan jempol tanda setuju. Dia kemudian melanjutkan lukisan
sungainya itu. Flo terkantuk-kantuk menunggu Kai selesai melukis.
Akhirnya dia merebahkan kepalanya di bahu Kai. Kai menyadari sesuatu.
Dia lalu berhenti sebentar untuk menatap wajah gadis itu. Flo telah
tertidur. Matanya. Senyumnya. Kai sangat menyayangi Flo. Entah sebagai
apa. Kai tidak yakin. Kai kemudian menyimpan kuas yang sedari tadi ia
pegang ke dalam kotak lukisnya. Dia lalu merangkul pinggang Flo. Dan
menaruh kepalanya di kepala Flo. Dia sangat ingin berlama-lama di
samping Flo untuk saat ini.
Flo merenggangkan badan. Ia lalu melihat arlojinya. Sudah pukul 4
sore. Berarti sudah 2 jam ia tertidur di bawah pohon pinus ini. Dia
seraya bangkit dan celingak-celinguk mencari Kai. Dia lalu melihat
sebuah lukisan. Lukisannya berbeda. Dia mendekat ke arah lukisan
tersebut. Baru saja ia hampir 5 langkah dari lukisan tersebut, Kai
tiba-tiba datang dan mengambil lukisan tersebut dan menyembunyikan
lukisan itu di belakangnya.
“Hei Kai! Aku mau lihat. Apa tidak boleh?” Tanya Flo dengan wajah cemberut. Kai berdehem.
“Boleh saja. Tapi belum selesai. Nanti saja jika sudah selesai.” Kai
tersenyum kemudian menyimpan lukisan tersebut di bawah pohon pinus.
Hanya belakangnya saja yang nampak dari lukisan tersebut. Flo tidak
bisa melihat gambarnya. Kai lalu menarik Flo menuju sungai. Kai
menggenggam tangan Flo. Flo sesekali berbalik melihat lukisan tersebut.
Dia sangat penasaran seperti apa lukisan Kai. Tiba-tiba, air sungai
terpercik ke arahnya. Kai tersenyum nakal dan memercikkan air ke arah
Flo. Flo lalu membalas sambil tertawa. “Awas kamu, Kai. Lihat saja! Kamu
akan basah.” Teriak Flo seraya memercikkan air sungai ke arah Kai
dengan lebih keras.
Matahari mulai tumbang di arah barat. Burung-burung kembali ke
sarangnya masing-masing. Flo dan Kai sibuk membereskan peralatan lukis
Kai. Flo melirik ke arah lukisan Kai. Masih penasaran. Kai paham mengapa
Flo menatap lamat-lamat lukisannya itu. Kai lalu mengajak Flo mengambil
sepedanya di seberang sungai. Hari hampir gelap. Mereka harus segera
bergegas. Jika tidak, mereka akan tersesat. Kai menuntun sepeda Flo di
sepanjang jalan setapak. Hari telah gelap. Mereka bingung akan berjalan
ke mana. Flo merogoh saku depan jaketnya. Nasib baik, ia membawa senter.
Dia lalu menyorotkan senter di sepanjang jalan.
“Kai, kamu hafal tidak jalan pulang jika gelap begini?” Tanya Flo
mulai takut-takut. Kai mengangkat bahu. Flo mendesah pelan.
Jangan-jangan mereka tersesat. Mereka mengitari hutan tersebut selama
satu setengah jam. Flo melirik arlojinya. Sudah pukul 18.25. Flo mulai
khawatir. Ibunya pasti khawatir padanya. Begitu juga dengan Kakek Kai.
Flo melirik sekilas ke arah Kai. Kai bersikap biasa saja. Mungkin saja
Kai tahu jalan pulang. Flo kemudian bersikap biasa saja walau ia tahu
perasaannya tidak enak saat ini. Was-was. Namun, jika masih ada Kai di
sampingnya, Flo masih bisa menahan rasa takutnya.
Kai tiba-tiba berhenti berjalan. Dia lalu menyandarkan sepeda Flo di
salah satu pohon. “Flo, daripada kita berjalan namun tambah masuk ke
dalam hutan, lebih baik kita bermalam di sini dulu. Kamu juga cape,
kan?” Tanya Kai. Flo mengangguk. Kai lalu mengajak Flo ke bawah salah
satu pohon yang besar. Dia menyampirkan ransel dan mengambil sebotol air
mineral.
“Ini, minum dulu. Kamu pastinya cape.” Tawar Kai menyodorkannya kepada
Flo. Flo menerima air tersebut dan meneguknya dengan berhati-hati dan
menyisakan setengah untuk Kai.
“Kai, kamu juga cape, kan? Kamu juga minum. Ini.” Flo memberikan air
tersebut kepada Kai. Kai meneguk sampai tetes terakhir. Kai lalu
bangkit.
“Flo, kamu tunggu di sini dulu, ya. Aku mau cari daun pakis dulu
untuk dipakai sebagai alas tidur nanti. Aku tidak akan lama. Pinjamkan
aku sentermu.” Kata Kai lalu mengambil senter di tangan Flo. “Oke,
jangan lama, ya. Aku takut, Kai.” Kata Flo seraya memegang tangan Kai.
Dingin.
“Iya. Kamu tunggu saja. Aku pergi.” Kai berlari kecil lalu hilang di
dalam gelap. Baiknya, malam ini bulan bersinar utuh. Jadi Flo sedikit
bisa melihat keadaan sekitar.
Gadis manis itu kemudian mengepang rambutnya yang terurai sedari
tadi. Dia merogoh sakunya dan menemukan 3 permen karet. Lumayan. Dia
bisa memberikannya juga ke Kai. Dia mendengar suara langkah kaki
mendekat. Tapi, sepertinya bukan Kai. Langkahnya seperti dua orang. Flo
mengerjapkan mata. Benar-benar bukan Kai. Flo mulai takut. Dia lalu
berteriak memanggil Kai. Dua orang bertubuh jakung itu mendekat ke arah
Flo. Mereka lalu membungkam mulut Flo. Flo berusaha berteriak memanggil
Kai. Kai belum datang. Ia berusaha berteriak sekeras mungkin dalam
bungkaman dua orang lelaki asing itu. Flo memberontak. Tiba-tiba
terdengar suara Kai.
“Kalian!! Mau apa kalian? Haaa? Apa yang kalian lakukan terhadap gadisku?”
Kai berlari lalu menerjang dua orang lelaki itu sekaligus dan
meninjunya beberapa kali. Kepala. Perut. Semuanya seperti kesetanan.
Seorang bertubuh jakung itu meninju perut Kai dengan tinjuan
bertubi-tubi. Kai terjatuh sambil memegangi perutnya. Flo ketakutan dan
tidak tega, tetapi ia memberanikan diri untuk membantu Kai. Ia melihat
ranting besar dan memukulkan ranting tersebut ke lelaki yang menyerang
Kai tersebut. Kepala lelaki itu berdarah terkena ranting yang runcing
itu. Kai menarik Flo untuk segera pergi dari tempat itu. Kai menggenggam
tangan Flo dengan erat. Mereka terus berlari. Mereka melihat asap
megepul di kejauhan. Flo sudah mengenal tempat ini. Flo menyuruh Kai
untuk mengikutinya seraya tersenyum. Tidak sampai 10 menit, mereka telah
ke luar dari hutan tersebut. Mereka segera menuju kantor polisi
terdekat. Tempatnya kecil. Tapi Flo mengenal salah satu polisi tersebut
dengan baik.
Mereka baru saja pulang dari kantor polisi dan menceritakan kejadian
yang mereka alami. Malam telah larut. Namun bulan masih sangat baik.
Cahayanya masih membantu Kai dan Flo untuk melihat jalan yang mereka
lalui. Kai berhenti sebentar lalu menatap Flo. Ada tersirat rasa
khawatir di wajahnya. Kai lalu memeluk Flo. “Kamu masih ketakutan, Flo?
Badan kamu juga dingin.” Kai memeluk Flo dengan erat dan mengusap kepala
gadis yang disayanginya itu. Dilepaskannya pelukan yang sedari tadi ia
lakukan. Flo mengangguk kemudian terlihat cairan bening membasahi wajah
manis Flo. Gadis itu menangis. Kai merasa iba. Ia kemudian kembali
memeluk Flo.
“Tenang saja, Flo. Ada aku di sini. Kamu akan aman bersamaku.
Sekarang, ayo kita pulang.” Kai melepas pelukannya kemudian menggenggam
tangan Flo. Gadis itu masih terdiam.
“Kai, terima kasih. Terima kasih karena kamu telah menolongku tadi.
Tapi, bagaimana dengan barang-barang dan lukisan yang kita tinggalkan di
hutan tadi? Haruskah kita kembali mengambilnya?” Tanya Flo berhenti
sebentar.
“Jangan pedulikan itu. Sekarang, aku akan mengantarmu pulang supaya kamu
selamat sampai rumah. Besok saja barang-barang itu ku ambil. Ayo!
Bergegas!” Kai menarik tangan Flo dengan lembut.
Udara malam itu dingin menusuk sampai ke tulang. Gigi Kai sampai
terdengar gemeletuk. Dia tidak menggunakan jaket. Hanya memakai kaos
oblong biasa dan flat shoes yang dibelinya di pasar loak. Flo
memperhatikan wajah Kai dengan seksama. Sepertinya Kai tidak dalam
keadaan baik-baik saja. Selain beberapa luka di wajahnya, Flo tidak
melihat sesuatu yang lain. Tetapi perasaannya mengatakan bahwa Kai
sedang kesakitan. Entah apa. Hanya lekukan senyum Kai yang Flo lihat.
Selain itu, tidak ada.
—
Flo bergegas memakai jaket yang semalam ia sampirkan di balik pintu.
Sekonyong-konyong, ia berlari cepat menuju ke halaman belakang. Namun,
Ibunya tak nampak. Dia lalu berlari ke dapur. Dia melihat Ibunya sedang
membuat kue. Aromanya menyebar di dalam rumah. Sepertinya enak. Tetapi,
Flo harus segera bergegas. Dia mencium pipi Ibunya kemudian pamit menuju
ke rumah Kai. Flo tidak sepenuhnya ke rumah Kai. Dia hanya lewat. Dia
sepertinya akan ke hutan tempat mereka hampir bermalam kemarin.
Tujuannya cuma satu. Lukisan Kai. Sepertinya lukisan itu berharga
buatnya. Semalam, ia melihat wajah Kai yang berubah saat Flo berniat
akan mengambil lukisan tersebut. Pasti lukisan itu sangat bagus
sampai-sampai dia tidak berniat sedikit pun memperlihatkannya kepada
Flo. Flo tidak yakin. Tapi, rasanya dia harus mengambil lukisan tersebut
untuk diberikan kepada Kai.
Kai sedang mengamati lukisan yang kemarin dibuatnya. Kai tersenyum.
Tetapi, sedetik kemudian, dia menutup kembali lukisan tersebut karena
Kai merasakan kehadiran Flo. Flo memasang wajah cemberut. “Kamu pelit,
Kai. Tidak ingin memperlihatkan kepadaku lukisanmu itu. Padahal kan, aku
sahabatmu.” Flo menunjukkan wajah manyun. Kai tertawa kecil melihat
kelakuan Flo.
“Kamu seperti anak kecil, Flo.” Kai tertawa mengejeknya.
“Aku memang masih kecil. Lihat saja wajahku. Masih seperti wajah bayi
nyonya Peter. Imut dan menggemaskan.” Flo membalas ejekan Kai lalu
menjulurkan lidah. Kai tersenyum kemudian mengacak rambut Flo.
Tiba-tiba, semenit kemudian, Kai jatuh pingsan. Flo sangat kaget.
Digoyang-goyangkannya tubuh Kai. Tetap tidak ada respon. “Kai? Kamu
kenapa? Kai! Bangun Kai!” Flo tetap mengguncang tubuh Kai. Dia sangat
panik dan khawatir. Dia bingung harus melakukan apa. Air mata Flo
menetes. Gadis itu menangis sembari memandangi wajah Kai yang penuh luka
lebam. Gadis itu berteriak minta tolong. Namun, tak seorang pun
mendengar. Flo berusaha menggotong tubuh Kai. Dia tak sanggup. Dicobanya
lagi. Tubuh Kai mulai terangkat sedikit demi sedikit.
Saat mengangkat Kai, Flo tidak sengaja menyibak kain yang menutupi
lukisan Kai. Air matanya tambah deras mengalir. Itu gambar dirinya yang
sedang tertidur. Mengapa Kai tidak mengatakannya? Mengapa Kai
menyembunyikan hal itu dari Flo? Flo sudah tak sanggup memikirkan
apa-apa. Dia berusaha sekuat tenaga menggotong Kai ke luar dari hutan
tersebut. Jatuh bangun. Sudah beberapa luka gores di tubuhnya tak
dipedulikannya. Jalan semakin menanjak saja. Tapi akhirnya, Flo sampai
di depan rumah Kai. Dia membawa Kai masuk. Kakek Gupps, Kakek Kai sudah
siap melontarkan banyak pertanyaan. Namun, diurungkan niatnya karena
melihat Flo yang kelelahan. Setelah dua jam berlalu, Flo pamit untuk
pulang. Kakek Kai hanya tersenyum dan mengangguk mengiyakan.
—
Kai dan Flo duduk bersampingan di dekat sungai favorit mereka. Flo
menyandarkan kepalanya di bahu Kai. Kai melihat Flo seraya tersenyum.
“Flo, apakah aku masih bisa hidup lama? Apakah aku masih bisa di dekatmu
terus seperti ini? Apakah kanker yang ku derita akan membunuhku?” Air
mata Kai luruh jatuh membasahi wajahnya.
Flo tidak tega melihatnya. Diusapnya air mata Kai. “Kamu akan tetap
hidup, Kai. Aku tidak akan membiarkan kanker itu membunuhmu. Tidak akan.
Tidak akan ku biarkan orang yang ku cintai meninggalkanku seperti itu.”
Flo tersenyum memandang Kai.
“Flo, kalau suatu saat aku pergi, aku akan menitipkan cintaku kepada
angin. Angin yang akan menjadi perantara aku dan kamu. Setiap hela udara
yang kamu hirup, akan ada aku di antaranya. Kamu akan selalu menjadi
yang nomor satu, Flo.” Kai memeluk Flo erat kemudian melepaskan
pelukannya.
“Kamu janji, Kai?” Tanya Flo menggenggam tangan Kai.
“Ya, aku janji.” Kai memegang tangan Flo dan menaruhnya di dadanya.
“Kamu akan selalu ada di sini.”
“The stars lean down to kiss you and I lie awake and miss you Pour me
a heavy dose of atmosphere Cause I’ll doze of safe and soundly I’ll
miss your arms around me I’d send a postcard to you, dear Cause I wish
you were here.”
Cerpen Karangan: Nurul Adiyah
Facebook: Aulia Nurul Adiyah
Ini merupakan cerita pendek karangan
Nurul Adiyah, kamu dapat mengunjungi halaman