Jumat, 04 Desember 2015

cerpen CINTA

Pesan Cinta Angin




Cerpen Karangan:
Lolos moderasi pada: 4 December 2015

Udara musim gugur masih menyelimuti kota London saat itu. Masih terbilang hangat. Tepatnya di kota Bradford, bagian utara Negara Inggris. Gadis berusia 17 tahun itu berjalan di setapak menuju bukit tak jauh dari rumahnya. Bukit itu terletak di dalam hutan lebih tepatnya. Daun-daun berguguran dan jatuh tepat di atas kepala Gadis yang memegang keranjang kue tersebut. Gadis itu bernama Flo. Sekarang, ia mengitari sungai dengan langkah berhati-hati. Takut bajunya basah terkena percikan air dari sepatunya. Dia melangkah sesembari bersenandung kecil. Flo kemudian mendongak ke arah belakang. Dilihatnya asap-asap mengepul dari kejauhan. Mungkin saja ada yang sedang berkemah di dekat-dekat hutan ini. Tak apalah. Itu tak menyurutkan niatnya untuk cepat-cepat sampai ke bukit yang dikenal dengan bukit Seedmoun.
Flo membentangkan alas pakis untuk dijadikan tempat duduk dan menaruh sekeranjang penuh kue kering bikinannya sendiri di atasnya. Dia mendengar daun-daun yang gemerisik, binatang kecil yang berlalu-lalang di dekatnya, dan suara napasnya sendiri. Sangat damai. Sendiri di tempat sejuk seperti sekarang ini adalah kesukaannya. Lalu terdengar suara kaki melangkah mendekat. Flo berbalik. Ternyata Kai. Kai adalah satu-satunya teman lelaki yang ia punya sejak kecil. Dia sedang memakai tas ransel dan sepatu boots. Kai meringis kecil melihat Flo yang terheran-heran menatapnya.
“Hei! Ada apa? Kenapa menatap dengan wajah anehmu itu?” seru Kai sambil terkikik geli. Dia kemudian duduk di samping Flo dan meletakkan ransel yang dikenakannya. Kai menyodorkan sekotak kue ke Flo setelah dilihatnya gadis itu tersenyum.
“Kamu mau, Flo?” Tanya Kai sesembari memperbaiki posisi duduknya.
“Apa itu?” Tanya Flo berbalik.
“Hanya kue kering. Tadi Kakek Gupps membuatkan lebih untuk kita. Mau tidak? Kalau tidak, aku akan makan sendiri.” Kai tersenyum jahil.
“Berikan aku sepotong saja.” jawab gadis itu tanpa mempedulikan wajah Kai yang aneh.
“Kai, mau tidak kamu menemaniku ke toko Seffin tidak jauh dari sini? Aku ingin membeli puding” tanyanya lagi lalu bangkit dan membereskan kue-kue dan alas pakis yang telah lama tertindih. “Boleh saja. Ayo!” Kai mengangguk kemudian bangkit dan berjalan mendahului Flo.
Esoknya, Flo menelepon Kai. Tidak terjawab. Dicoba lagi olehnya. Hasilnya nihil. Flo tergopoh mengambil flat shoes-nya lalu berlari ke luar menuju ke rumah Kai. Gadis itu menabrak Ibunya yang sedang membawa tanaman. Ia secepat kilat mengambil sepedanya yang terparkir di halaman depan. Ibunya beberapa kali mengumpatnya menyuruhnya berhati-berhati. Flo hanya mengangguk kemudian mengayuh sepedanya dengan cepat.
“Kai, Kai. Kamu ada di dalam?” Flo mengetuk pintu rumah Kai beberapa kali.
Tak ada yang membukakan pintu untuknya. Badannya lemas. Kai ke mana? Tumben dia pergi tanpa bilang dulu? Flo pusing memikirkannya. Dia lalu beringsut mendekati jendela. Tak nampak siapa-siapa. Mungkin Kai ke kota, pikirnya. Flo mengayuh sepedanya menuju bukit Seedmoun. Dia memarkir sepedanya di seberang sungai lalu berjalan mendekati hutan pinus tak jauh dari situ. Dia melihat seorang lelaki sebayanya sedang melukis di bawah pohon itu. Apa dia Kai? Sedang apa anak itu? Melukis sendirian di bawah pohon. Flo lalu mendekatinya. Kai merasakan kehadiran Flo lalu berbalik dan tersenyum. Flo mengusap keringat di dahinya. Dia benar-benar Kai. Flo memperhatikan setiap goresan lukisan Kai. Sangat cantik. Kai sedang melukis sungai yang ada di hadapannya. Dia sangat pandai melukis.
“Kai, aku juga mau pandai melukis. Mau tidak kamu mengajariku?” Tanya Flo malu-malu.
“Boleh. Tapi tunggu lukisan ini selesai dulu, ya.” Aku mengangguk seraya memberikan jempol tanda setuju. Dia kemudian melanjutkan lukisan sungainya itu. Flo terkantuk-kantuk menunggu Kai selesai melukis. Akhirnya dia merebahkan kepalanya di bahu Kai. Kai menyadari sesuatu. Dia lalu berhenti sebentar untuk menatap wajah gadis itu. Flo telah tertidur. Matanya. Senyumnya. Kai sangat menyayangi Flo. Entah sebagai apa. Kai tidak yakin. Kai kemudian menyimpan kuas yang sedari tadi ia pegang ke dalam kotak lukisnya. Dia lalu merangkul pinggang Flo. Dan menaruh kepalanya di kepala Flo. Dia sangat ingin berlama-lama di samping Flo untuk saat ini.
Flo merenggangkan badan. Ia lalu melihat arlojinya. Sudah pukul 4 sore. Berarti sudah 2 jam ia tertidur di bawah pohon pinus ini. Dia seraya bangkit dan celingak-celinguk mencari Kai. Dia lalu melihat sebuah lukisan. Lukisannya berbeda. Dia mendekat ke arah lukisan tersebut. Baru saja ia hampir 5 langkah dari lukisan tersebut, Kai tiba-tiba datang dan mengambil lukisan tersebut dan menyembunyikan lukisan itu di belakangnya.
“Hei Kai! Aku mau lihat. Apa tidak boleh?” Tanya Flo dengan wajah cemberut. Kai berdehem.
“Boleh saja. Tapi belum selesai. Nanti saja jika sudah selesai.” Kai tersenyum kemudian menyimpan lukisan tersebut di bawah pohon pinus.
Hanya belakangnya saja yang nampak dari lukisan tersebut. Flo tidak bisa melihat gambarnya. Kai lalu menarik Flo menuju sungai. Kai menggenggam tangan Flo. Flo sesekali berbalik melihat lukisan tersebut. Dia sangat penasaran seperti apa lukisan Kai. Tiba-tiba, air sungai terpercik ke arahnya. Kai tersenyum nakal dan memercikkan air ke arah Flo. Flo lalu membalas sambil tertawa. “Awas kamu, Kai. Lihat saja! Kamu akan basah.” Teriak Flo seraya memercikkan air sungai ke arah Kai dengan lebih keras.
Matahari mulai tumbang di arah barat. Burung-burung kembali ke sarangnya masing-masing. Flo dan Kai sibuk membereskan peralatan lukis Kai. Flo melirik ke arah lukisan Kai. Masih penasaran. Kai paham mengapa Flo menatap lamat-lamat lukisannya itu. Kai lalu mengajak Flo mengambil sepedanya di seberang sungai. Hari hampir gelap. Mereka harus segera bergegas. Jika tidak, mereka akan tersesat. Kai menuntun sepeda Flo di sepanjang jalan setapak. Hari telah gelap. Mereka bingung akan berjalan ke mana. Flo merogoh saku depan jaketnya. Nasib baik, ia membawa senter. Dia lalu menyorotkan senter di sepanjang jalan.
“Kai, kamu hafal tidak jalan pulang jika gelap begini?” Tanya Flo mulai takut-takut. Kai mengangkat bahu. Flo mendesah pelan. Jangan-jangan mereka tersesat. Mereka mengitari hutan tersebut selama satu setengah jam. Flo melirik arlojinya. Sudah pukul 18.25. Flo mulai khawatir. Ibunya pasti khawatir padanya. Begitu juga dengan Kakek Kai. Flo melirik sekilas ke arah Kai. Kai bersikap biasa saja. Mungkin saja Kai tahu jalan pulang. Flo kemudian bersikap biasa saja walau ia tahu perasaannya tidak enak saat ini. Was-was. Namun, jika masih ada Kai di sampingnya, Flo masih bisa menahan rasa takutnya.
Kai tiba-tiba berhenti berjalan. Dia lalu menyandarkan sepeda Flo di salah satu pohon. “Flo, daripada kita berjalan namun tambah masuk ke dalam hutan, lebih baik kita bermalam di sini dulu. Kamu juga cape, kan?” Tanya Kai. Flo mengangguk. Kai lalu mengajak Flo ke bawah salah satu pohon yang besar. Dia menyampirkan ransel dan mengambil sebotol air mineral.
“Ini, minum dulu. Kamu pastinya cape.” Tawar Kai menyodorkannya kepada Flo. Flo menerima air tersebut dan meneguknya dengan berhati-hati dan menyisakan setengah untuk Kai.
“Kai, kamu juga cape, kan? Kamu juga minum. Ini.” Flo memberikan air tersebut kepada Kai. Kai meneguk sampai tetes terakhir. Kai lalu bangkit.
“Flo, kamu tunggu di sini dulu, ya. Aku mau cari daun pakis dulu untuk dipakai sebagai alas tidur nanti. Aku tidak akan lama. Pinjamkan aku sentermu.” Kata Kai lalu mengambil senter di tangan Flo. “Oke, jangan lama, ya. Aku takut, Kai.” Kata Flo seraya memegang tangan Kai. Dingin.
“Iya. Kamu tunggu saja. Aku pergi.” Kai berlari kecil lalu hilang di dalam gelap. Baiknya, malam ini bulan bersinar utuh. Jadi Flo sedikit bisa melihat keadaan sekitar.
Gadis manis itu kemudian mengepang rambutnya yang terurai sedari tadi. Dia merogoh sakunya dan menemukan 3 permen karet. Lumayan. Dia bisa memberikannya juga ke Kai. Dia mendengar suara langkah kaki mendekat. Tapi, sepertinya bukan Kai. Langkahnya seperti dua orang. Flo mengerjapkan mata. Benar-benar bukan Kai. Flo mulai takut. Dia lalu berteriak memanggil Kai. Dua orang bertubuh jakung itu mendekat ke arah Flo. Mereka lalu membungkam mulut Flo. Flo berusaha berteriak memanggil Kai. Kai belum datang. Ia berusaha berteriak sekeras mungkin dalam bungkaman dua orang lelaki asing itu. Flo memberontak. Tiba-tiba terdengar suara Kai.
“Kalian!! Mau apa kalian? Haaa? Apa yang kalian lakukan terhadap gadisku?”
Kai berlari lalu menerjang dua orang lelaki itu sekaligus dan meninjunya beberapa kali. Kepala. Perut. Semuanya seperti kesetanan. Seorang bertubuh jakung itu meninju perut Kai dengan tinjuan bertubi-tubi. Kai terjatuh sambil memegangi perutnya. Flo ketakutan dan tidak tega, tetapi ia memberanikan diri untuk membantu Kai. Ia melihat ranting besar dan memukulkan ranting tersebut ke lelaki yang menyerang Kai tersebut. Kepala lelaki itu berdarah terkena ranting yang runcing itu. Kai menarik Flo untuk segera pergi dari tempat itu. Kai menggenggam tangan Flo dengan erat. Mereka terus berlari. Mereka melihat asap megepul di kejauhan. Flo sudah mengenal tempat ini. Flo menyuruh Kai untuk mengikutinya seraya tersenyum. Tidak sampai 10 menit, mereka telah ke luar dari hutan tersebut. Mereka segera menuju kantor polisi terdekat. Tempatnya kecil. Tapi Flo mengenal salah satu polisi tersebut dengan baik.
Mereka baru saja pulang dari kantor polisi dan menceritakan kejadian yang mereka alami. Malam telah larut. Namun bulan masih sangat baik. Cahayanya masih membantu Kai dan Flo untuk melihat jalan yang mereka lalui. Kai berhenti sebentar lalu menatap Flo. Ada tersirat rasa khawatir di wajahnya. Kai lalu memeluk Flo. “Kamu masih ketakutan, Flo? Badan kamu juga dingin.” Kai memeluk Flo dengan erat dan mengusap kepala gadis yang disayanginya itu. Dilepaskannya pelukan yang sedari tadi ia lakukan. Flo mengangguk kemudian terlihat cairan bening membasahi wajah manis Flo. Gadis itu menangis. Kai merasa iba. Ia kemudian kembali memeluk Flo.
“Tenang saja, Flo. Ada aku di sini. Kamu akan aman bersamaku. Sekarang, ayo kita pulang.” Kai melepas pelukannya kemudian menggenggam tangan Flo. Gadis itu masih terdiam.
“Kai, terima kasih. Terima kasih karena kamu telah menolongku tadi. Tapi, bagaimana dengan barang-barang dan lukisan yang kita tinggalkan di hutan tadi? Haruskah kita kembali mengambilnya?” Tanya Flo berhenti sebentar.
“Jangan pedulikan itu. Sekarang, aku akan mengantarmu pulang supaya kamu selamat sampai rumah. Besok saja barang-barang itu ku ambil. Ayo! Bergegas!” Kai menarik tangan Flo dengan lembut.
Udara malam itu dingin menusuk sampai ke tulang. Gigi Kai sampai terdengar gemeletuk. Dia tidak menggunakan jaket. Hanya memakai kaos oblong biasa dan flat shoes yang dibelinya di pasar loak. Flo memperhatikan wajah Kai dengan seksama. Sepertinya Kai tidak dalam keadaan baik-baik saja. Selain beberapa luka di wajahnya, Flo tidak melihat sesuatu yang lain. Tetapi perasaannya mengatakan bahwa Kai sedang kesakitan. Entah apa. Hanya lekukan senyum Kai yang Flo lihat. Selain itu, tidak ada.

Flo bergegas memakai jaket yang semalam ia sampirkan di balik pintu. Sekonyong-konyong, ia berlari cepat menuju ke halaman belakang. Namun, Ibunya tak nampak. Dia lalu berlari ke dapur. Dia melihat Ibunya sedang membuat kue. Aromanya menyebar di dalam rumah. Sepertinya enak. Tetapi, Flo harus segera bergegas. Dia mencium pipi Ibunya kemudian pamit menuju ke rumah Kai. Flo tidak sepenuhnya ke rumah Kai. Dia hanya lewat. Dia sepertinya akan ke hutan tempat mereka hampir bermalam kemarin. Tujuannya cuma satu. Lukisan Kai. Sepertinya lukisan itu berharga buatnya. Semalam, ia melihat wajah Kai yang berubah saat Flo berniat akan mengambil lukisan tersebut. Pasti lukisan itu sangat bagus sampai-sampai dia tidak berniat sedikit pun memperlihatkannya kepada Flo. Flo tidak yakin. Tapi, rasanya dia harus mengambil lukisan tersebut untuk diberikan kepada Kai.
Kai sedang mengamati lukisan yang kemarin dibuatnya. Kai tersenyum. Tetapi, sedetik kemudian, dia menutup kembali lukisan tersebut karena Kai merasakan kehadiran Flo. Flo memasang wajah cemberut. “Kamu pelit, Kai. Tidak ingin memperlihatkan kepadaku lukisanmu itu. Padahal kan, aku sahabatmu.” Flo menunjukkan wajah manyun. Kai tertawa kecil melihat kelakuan Flo.
“Kamu seperti anak kecil, Flo.” Kai tertawa mengejeknya.
“Aku memang masih kecil. Lihat saja wajahku. Masih seperti wajah bayi nyonya Peter. Imut dan menggemaskan.” Flo membalas ejekan Kai lalu menjulurkan lidah. Kai tersenyum kemudian mengacak rambut Flo.
Tiba-tiba, semenit kemudian, Kai jatuh pingsan. Flo sangat kaget. Digoyang-goyangkannya tubuh Kai. Tetap tidak ada respon. “Kai? Kamu kenapa? Kai! Bangun Kai!” Flo tetap mengguncang tubuh Kai. Dia sangat panik dan khawatir. Dia bingung harus melakukan apa. Air mata Flo menetes. Gadis itu menangis sembari memandangi wajah Kai yang penuh luka lebam. Gadis itu berteriak minta tolong. Namun, tak seorang pun mendengar. Flo berusaha menggotong tubuh Kai. Dia tak sanggup. Dicobanya lagi. Tubuh Kai mulai terangkat sedikit demi sedikit.
Saat mengangkat Kai, Flo tidak sengaja menyibak kain yang menutupi lukisan Kai. Air matanya tambah deras mengalir. Itu gambar dirinya yang sedang tertidur. Mengapa Kai tidak mengatakannya? Mengapa Kai menyembunyikan hal itu dari Flo? Flo sudah tak sanggup memikirkan apa-apa. Dia berusaha sekuat tenaga menggotong Kai ke luar dari hutan tersebut. Jatuh bangun. Sudah beberapa luka gores di tubuhnya tak dipedulikannya. Jalan semakin menanjak saja. Tapi akhirnya, Flo sampai di depan rumah Kai. Dia membawa Kai masuk. Kakek Gupps, Kakek Kai sudah siap melontarkan banyak pertanyaan. Namun, diurungkan niatnya karena melihat Flo yang kelelahan. Setelah dua jam berlalu, Flo pamit untuk pulang. Kakek Kai hanya tersenyum dan mengangguk mengiyakan.

Kai dan Flo duduk bersampingan di dekat sungai favorit mereka. Flo menyandarkan kepalanya di bahu Kai. Kai melihat Flo seraya tersenyum.
“Flo, apakah aku masih bisa hidup lama? Apakah aku masih bisa di dekatmu terus seperti ini? Apakah kanker yang ku derita akan membunuhku?” Air mata Kai luruh jatuh membasahi wajahnya.
Flo tidak tega melihatnya. Diusapnya air mata Kai. “Kamu akan tetap hidup, Kai. Aku tidak akan membiarkan kanker itu membunuhmu. Tidak akan. Tidak akan ku biarkan orang yang ku cintai meninggalkanku seperti itu.” Flo tersenyum memandang Kai.
“Flo, kalau suatu saat aku pergi, aku akan menitipkan cintaku kepada angin. Angin yang akan menjadi perantara aku dan kamu. Setiap hela udara yang kamu hirup, akan ada aku di antaranya. Kamu akan selalu menjadi yang nomor satu, Flo.” Kai memeluk Flo erat kemudian melepaskan pelukannya.
“Kamu janji, Kai?” Tanya Flo menggenggam tangan Kai.
“Ya, aku janji.” Kai memegang tangan Flo dan menaruhnya di dadanya.
“Kamu akan selalu ada di sini.”
“The stars lean down to kiss you and I lie awake and miss you Pour me a heavy dose of atmosphere Cause I’ll doze of safe and soundly I’ll miss your arms around me I’d send a postcard to you, dear Cause I wish you were here.”
Cerpen Karangan: Nurul Adiyah
Facebook: Aulia Nurul Adiyah
Ini merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar